Oleh : Ready Advance, ST, MBA. Alumni Lemhanas 2025.
HALTIMTV.COM – Cadangan bijih nikel di Indonesia merupakan cadangan terbesar di Dunia dengan porsi 23,7% dari seluruh cadangan dunia.
Sejak 2014, pemerintah memberlakukan kebijakan larangan ekspor bijih mentah (raw ore ban) dan mendorong hilirisasi (pembangunan smelter & industri baterai).
Investor asing, terutama dari China, masuk besar-besaran melalui proyek smelter di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara.
Sebelum relaksasi ekspor, jumlah fasilitas pemurnian nikel cenderung stagnan.
Smelter nikel hanya dimiliki oleh Antam dan Vale, serta smelter kecil dengan teknologi blast furnace yang berlokasi di Banten.
Kawasan Industri Morowali mulai dibangun sejak 2013 dan smelter pertama diresmikan Tahun 2015.
Setelah itu, sejak 2017 jumlah smelter meningkat signifikan.
Kawasan industri smelter nickel adalah area khusus yang didedikasikan untuk fasilitas pengolahan dan peleburan nikel dari bijih menjadi produk jadi atau setengah jadi dengan infrastruktur dan fasilitas pendukung terpadu.
Perusahaan-perusahaan seperti Tsingshan Holding Group (Morowali Industrial Park), Huayou Cobalt, dan beberapa joint venture dengan BUMN Indonesia mendominasi pembangunan smelter.
Indonesia juga memiliki potensi untuk menjadi pusat manufaktur kendaraan listrik, terutama jika rantai pasokan yang terintegrasi tersedia.
Keunggulan sumber daya alam ini menjadi daya tarik bagi produsen mobil untuk membangun lokasi produksi di Indonesia, karena biaya bahan baku, yang memengaruhi hingga 25% dari harga akhir baterai, merupakan salah satu ketidakpastian terbesar yang dihadapi produsen mobil saat ini.
Pilar Pembangunan Sosial bagian dari empat pilar SDG’s (Sustainability Development Goals) yang memiliki tujuan tercapainya pemenuhan hak dasar manusia yang berkualitas secara adil dan setara untuk meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.
Hal ini selaras dengan Wawasan kebangsaan berbasis Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi kompas moral & strategis bagi pemimpin dalam mengarahkan implementasi Asta Cita utamanya poin 5 & 6 dimana kedua poin ini menyasar akar masalah kemiskinan (akses eknomi yang timpang) dan pengangguran (rendahnya kualitas SDM).
Dalam rangka menunjang AstaCita ke-5 yaitu Hilirisasi dan Industrialisasi (berlaku di semua jenis Industri, bukan hanya Industri Mineral) itulah nilai tambah pemanfaatan sumberdaya alam dibutuhkan, diantaranya adalah penciptaan ekosistem baterai kendaraan listrik dengan berlimpahnya bahan baku nikel dan cobalt di Indonesia.
Jika bicara dari sisi Asta Gatra maka ada penciptaan distribusi pertumbuhan ekonomi terutama di daerah-daerah penghasil sumberdaya alam, alias membangun hilirisasi dan industrialisasi mendekat ke sumber bahan baku Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia terutama sila-5 diharapkan menciptakan lapangan kerja, mengurangi kemiskinan, dan membangun desa-desa.
Globalisasi tenaga kerja juga bermakna pekerja asing (TKA) masuk ke Indonesia membawa keterampilan, modal, dan teknologi.
Permasalahan muncul karena investor tersebut membawa serta Tenaga Kerja Asing dalam jumlah cukup signifikan.
Biasanya pada masa konstruksi, jumlah tenaga kerja asing dan Indonesia bisa mencapai 1:1 atau 1:2 namun pada masa operasi jumlah tenaga kerja Indonesia meningkat sehingga rasio TKA : TKI bisa menjadi 1:4 sampai dengan 1:6
Data Kementerian Investasi/BKPM :
Hilirisasi nikel membuka ratusan ribu lapangan kerja langsung & tidak langsung di kawasan industri (Morowali, Konawe, Halmahera).
Terdapat 2 (dua) isu sensitive terkait ketenagakerjaan yakni kehadiran Tenaga Kerja Asing dan kehadiran Tenaga Kerja dari luar Lokasi Tambang &/atau Kawasan Industri.
Sering sekali kita bangga dengan pernyataan bahwa Indonesia mengalami bonus demografi.
Benarkah? Berdasarkan data dari Kementerian Ketenagakerjaan, tingkat pengangguran tertinggi terjadi pada kelompok usia 19-24 tahun.
Lulusan SMK menempati proporsi tertinggi dalam kelompok pengangguran (menurut data BPS mencapai 8,62%, lebih tinggi dibanding jenjang pendidikan lainnya).
Terjadi mismatch antara keahlian yang diajarkan dan kebutuhan Industri.
Hal ini harus dicarikan solusinya.
Bagaimana kualitas tenaga kerja lokal yang ada? Seringkali tenaga kerja terampil diambil dari luar lingkar tambang atau luar Kawasan Industri, padahal yang terdampak atas eksploitasi sumberdaya alam adalah Masyarakat Sekitar.
Salah satu faktor yang bisa mengurangi kemiskinan adalah tenaga kerja produktif yang terserap oleh Perusahaan sehingga bisa membantu orang-orang sekitarnya, dan memutar roda ekonomi di Kawasan Sekitar.
Banyak tenaga lokal hanya mengisi posisi non-teknis atau level operator, sementara posisi teknis/ahli diisi tenaga kerja terampil dari Luar Kota atau TKA.
Tentu muncul perasaan tidak adil karena tenaga kerja non Lokal dan TKA terlihat mendapat posisi strategis dengan gaji lebih tinggi.
Fenomena ini menunjukkan adanya resource curse atau kutukan sumber daya alam, dimana kelimpahan sumber daya alam tidak secara otomatis meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal.
Pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan Industri menjadi hal yang sangat penting, sedangkan saat ini terjadi skill mismatch antara supply dan demand tenaga kerja, dan ini terjadi di semua bidang Industri, bukan hanya di Industri Hilirisasi Nikel.
Berdasarkan permasalahan diatas, maka aspek wawasan kebangsaan yang diuji terkait keadilan sosial termasuk distribusi pekerjaan, perlindungan hak pekerja lokal, pemerataan peluang, dan transparansi regulasi tenaga kerja agar masyarakat merasa diperlakukan adil.
PEMBAHASAN
Ketakutan terhadap “serbuan” TKA & Kedaulatan Kerja Nasional.
Banyak laporan media melaporkan kekhawatiran masyarakat bahwa TKA (tenaga kerja asing) asal China akan mengambil alih pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya bisa diisi oleh tenaga lokal.
Kondisi ini sering muncul dalam diskusi publik/informasi media sosial sebagai isu nasionalisme.
Konsentrasi terbesar TKA China ditemukan pada : pertambangan (nikel),
smelter/industri pengolahan mineral, proyek infrastruktur besar (konstruksi,
pelabuhan, energi terbarukan) dan pabrik manufaktur/komponen yang melakukan relokasi investasi.
Sentimen terhadap “keistimewaan” bagi investor/pelaksana proyek besar yang
menggunakan banyak tenaga kerja asing. –
Isu bahwa pembangunan proyek strategis dengan TKA China dapat mempercepat pembangunan tetapi jika tidak memperhatikan lokal, bisa dianggap mengeksploitasi wilayah dan masyarakat.
Kehadiran mereka sebagai TKA sering dikaitkan dengan stereotip etnis & asing, bukan sebagai bagian dari warga negara atau komunitas lokal.
Ini bisa menjadi faktor perpecahan identitas regional/etnis vs identitas nasional, di mana warga merasa perlu
melindungi “aspek budaya / nilai lokal” dari pengaruh luar.
Prinsip Keadilan Sosial dalam Konteks Tenaga Kerja.
Dalam dunia kerja, seharusnya warga negara Indonesia mendapat prioritas dalam akses lapangan kerja di tanah airnya sendiri.
Investor berargumen bahwa TKA
dibutuhkan terutama untuk fase awal pembangunan smelter (instalasi mesin,
teknologi baru) karena keahlian lokal masih terbatas.
Secara teori, TKA hanya bersifat
sementara hingga transfer teknologi berjalan, tentu pada praktiknya, investor ingin memastikan bahwa Investasi mereka berjalan dengan return tertentu.
Potensi mengurangi rasa keadilan :
Ketimpangan akses : Meski jumlah TKA relatif kecil (±5–15% dari total pekerja
di kawasan industri nikel), masyarakat sering melihat TKA menduduki posisi
teknis/ahli dengan gaji lebih tinggi, sementara pekerja lokal lebih banyak di
posisi kasar/pekerja operator.
Persepsi Publik : Muncul anggapan bahwa TKA “mengambil” peluang kerja dari tenaga lokal, apalagi ketika tingkat pengangguran daerah masih tinggi
KESIMPULAN
Kalau kita hubungkan dengan Sila ke-5 Pancasila, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, maka harus ada proteksi sehingga rakyat tidak merasa “tamu” lebih diutamakan daripada tuan rumah.
Untuk itu, pendidikan vokasi dan sertifikasi bisa menjadi instrumen penting untuk memenuhi rasa keadilan bagi pekerja lokal , asalkan berjalan dengan baik.
Jika pendidikan vokasi dan sertifikasi dijalankan secara serius, terukur, dan berkelanjutan, maka hal itu bisa Memberikan peluang kerja yang setara bagi pekerja lokal, serta dalam jangka
menengah–panjang, perusahaan bisa lebih banyak mengandalkan pekerja lokal karena mereka sudah memiliki standar kompetensi yang diakui
(nasional/internasional)
Mengurangi ketimpangan dengan TKA, karena Pekerja lokal yang terlatih dan
tersertifikasi bisa bersaing di posisi teknis yang sebelumnya dikuasai TKA.
Dan pada akhirnya memenuhi rasa keadilan sosial sebagaimana yang
diamanatkan oleh sila ke-5 Pancasila.
Kalau program ini gagal (misalnya hanya formalitas, akses terbatas, atau tidak sesuai dengan kebutuhan industri), maka ketidakadilan tetap terjadi, karena pekerja lokal tetap terpinggirkan meski “dilindungi” regulasi.
REKOMENDASI
Program Vokasi & Sertifikasi
Dalam konteks globalisasi dan derasnya masuk TKA, pendidikan vokasi adalah kunciuntuk menjaga keadilan sosial. Dengan vokasi yang kuat, pekerja lokal tidak lagi hanya jadi penonton, melainkan pemain utama dalam pembangunan industri.
Dengan begitu, Sila ke-5 Pancasila tidak hanya jadi semboyan, tetapi benar-benar terwujud dalam kehidupan kerja sehari-hari.
Pendidikan vokasi dalam konsep STEM (Science, Technology, Engineering, and
Mathematics) programs for high school students (SMK and SMA) dan School
Development Program (SDP – EV Industry Ecosystem) menjadi solusi strategis untuk meningkatkan daya saing tenaga kerja lokal dan mewujudkan keadilan sosial di daerah penghasil tambang.
Program vokasi bisa dimulai dari tingkat SMK yang siap kerja dengan meningkatkan kemampuan Bahasa dengan memiliki sertifikasi internasional (contoh: TOEIC untuk bahasa Inggris dan HSK untuk Bahasa Mandarin) dan sertifikasi kompetensi sesuai dengan dunia usaha & industry.
Program dari Kementerian Ketenagakerjaan yang menyediakan layanan pelatihan, sertifikasi, dan matching antara pencari kerja dan
perusahaan. (kemnaker.go.id) dan Program link and match perguruan tinggi vokasi industri, kurikulum & kompetensi disesuaikan & didukung oleh sertifikasi dari BNSP.
DAFTAR PUSTAKA
I. Lembaga Ketahanan Nasional RI. Modul Pemantapan Nilai-Nilai Kebangsaan yang
Bersumber dari Pancasila. Jakarta : Lemhannas RI, 2020.
II. Ready Advancer, Seminar Nasional Pemuda ICMI “Peran Intelektual Muslim dalam Hilirisasi Sumberdaya Alam”, disampaikan di Bandung, November 2024.
III. MIND ID Sustainability Report 2023 & 2024
IV. Jalal, Towards Sustainable Future and ESG Performance. Disampaikan pada sesi seminar CSR Grup “Dari Kapitalisme Pemangku Kepentingan hingga Manajemen Pemangku Kepentingan “, konsekuensi untuk Industri Pertambangan di Indonesia, di
Bandung, 2024.
V. Data US Geological Survey (USGS) pada Mineral Commodity. Data diolah Dirjen
Minerba disampaikan pada Integrated Seminar for Material Engineers Enrichment(Isometric), 2019
VI. BPS, bps.go.id, Tingkat Pengangguran Terbuka Berdasarkan Tingkat Pendidikan, 2024.












